Implementasi Sistem Informasi – SDLC (System Development Life Cycle)
Apa itu SDLC?

SDLC didefnisikan oleh Departemen Kehakiman AS sebagai sebuah proses pengembangan software yang digunakan oleh systems analyst, untuk mengembangkan sebuah sistem informasi. SDLC mencakup kebutuhan (requirement), validasi, pelatihan, kepemilikan (user ownership) sebuah sistem informasi yang diperoleh melalui investigasi, analisis, desain, implementasi, dan perawatan software.Software yang dikembangkan berdasarkan SDLC akan meng hasilkan sistem dengan kualitas yang tinggi, memenuhi harapan penggunanya, tepat dalam waktu dan biaya, bekerja dengan efektif dan efsien dalam infrastruktur teknologi informasi yang ada atau yang direncanakan, serta murah dalam perawatan dan pengembangan lebih lanjut. SDLC merupakan pen dekatan sistematis untuk memecah kan masalah yang terdiri dari beberapa tahapan. Tiap-tiap tahapan dapat terdiri dari beberapa langkah berikut: 1. Konsep software ñ mengidentifkasi dan mendefinisikan kebutuhan akan sebuah sistem baru. 2. Analisis kebutuhan ñ menganalisis kebutuhan informasi dari pengguna .akhir sebuah system 3. Desain arsitektural ñ membuat blueprint desain berdasarkan spesifikasi utama, seperti hardware, software, pengguna, dan sumber data. 4. Coding dan debugging ñ membuat dan memprogram sistem. 5. Pengujian sistem ñ mengevaluasi fungsionalitas sistem aktual, dalam hubungannya dengan fungsionalitas yang diharapkan. Langkah-langkah dalam SDLC Tidak ada langkah baku dalam SDLC, tapi ketujuh langkah di bawah merupakan life cycle yang paling sering digunakan oleh para software developer profesional. 1. Studi kelayakan.Dilakukan oleh software developer dengan mempelajari konsep sistem yang diinginkan oleh pihak manajemen, apakah sistem baru tersebut realistis dalam masalah pembiayaan, waktu, serta perbedaan dengan sistem yang ada sekarang. Biasanya, dalam tahap ini diputuskan untuk meng-update sistem yang ada, atau menggantinya dengan yang baru. 2. Analisis. Pengguna dan software deve loper bekerja sama mengumpulkan, mempelajari, dan merumuskan kebutuhan-kebutuhan bisnis. 3. Desain. Pada langkah ini dilakukan pembuatan blueprint sistem. Di dalamnya termasuk penyesuaian dengan arsitektur telekomunikasi, hardware, dan software untuk pengembangan lebih lanjut, serta membuat model sistem ñ menciptakan model graphical user interface (GUI), database, dan lain-lain. 4. Pengembangan. Di sini, barulah para programmer melakukan coding untuk menerapkan desain ke dalam sistem yang sesungguhnya, membuat program,dan menyiapkan database. 5. Pengujian. Setelah sistem berhasil dikembangkan, langkah selanjutnya adalah pengujian untuk melihat apakah sistem telah sesuai dengan harapan dan kebutuhan pengguna. Dalam tahap ini, juga dilakukan debugging dan penyesuaian-penyesuaian akhir. 6. Implementasi. Pada tahap ini, software yang telah diuji siap diimplementasikan ke dalam sistem pengguna. Pembuatan user guide dan pelatihan juga dilakukan dalam tahap ini. 7. Perawatan. Perawatan dimaksudkan agar sistem yang telah diimplemantasikan dapat me ngikuti perkembangan dan perubahan apapun, yang terjadi guna meraih tujuan penggunaannya. Help desk untuk membantu pengguna, serta perubahan yang dianggap penting dapat dilakukan terhadap sistem dalam tahap ini.Jika memperhatikan langkah-langkah di atas, coding dan debugging yang selama ini menjadi pekerjaan utama software developer, hanyalah dua dari tujuh tahapan dalam SDLC. Di luar kedua langkah tersebut, SDLC lebih banyak berkutat pada urusan manajemen (non-teknis), yang mungkin kurang mendapat perhatian dari pada software deve loper.
PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK)
yang makin cepat berdampak nyata pada perubahan
sikap dan perilaku masyarakat pengguna informasi dalam
pencarian informasi. Kecepatan dan ketepatan mendapatkan informasi merupakan tuntutan kebutuhan dankepuasan pengguna. Hal ini terlihat dari intensitas pengguna informasi dalam melakukan penelusuran lewat komputer, baik melalui jalur online maupun offline,sehingga pemanfaatan informasi dari sumber-sumber manual seperti katalog tercetak, bibliografi, indeks, dan buku cenderung menurun (Maksum dan Darmawiredja 2007).Perpustakaan sebagai salah satu penyedia informasi
harus berjalan seiring dengan pesatnya kemajuanTIK serta kebutuhan informasi pengguna. Kecepatan
perkembangan pengetahuan harus mendapat reaksi yang cepat dan tepat dari perpustakaan sebagai organisasi pembelajaran, sehingga kedudukan perpustakaan menjadi sangat strategis. Kemajuan teknologi informasi(TI) menjanjikan kemudahan dalam manajemen pengetahuan
atau informasi, terutama bagi lembaga pengelola informasi. Perpustakaan sebagai salah satu penyedia dan penyimpan informasi dan pengetahuan (information provider dan knowledge repository) harus dapat mengimbangi bahkan mengantisipasinya. Bila sebelumnya fungsi perpustakaan lebih terfokus pada penyediaan informasi dalam bentuk fisik, seperti dokumen tercetak,pada era TI perpustakaan dituntut untuk mampu menyediakan sumber-sumber informasi dalam bentuk terekam yang dioperasikan secara elektronis yang sarat dengan pengetahuan tidak terstruktur (Rufaidah 2007).Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan TI yang makin pesat serta tuntutan sistem layanan informasi modern yang makin kuat, Perpustakaan Kebun Raya Bogor (KRB) sebagai unit pelaksana
pengelola informasi KRB perlu menjawab tantangan tersebut untuk mendukung visi dan misi lembaga induknya. Seminar (2004) mengemukakan bahwa perpustakaan perlu menjawab tantangan global yang bertumpu pada keunggulan manajemen dan layanan modern untuk mendukung visi, misi, dan program pembangunan. Visi KRB yaitu menjadi kebun raya terbaik kelas dunia dalam bidang konservasi dan penelitian tumbuhan tropika, pendidikan lingkungan, dan pariwisata. Misi KRB yaitu melestarikan, mendayagunakan, dan mengembangkan potensi tumbuhan melalui kegiatan konservasi, penelitian, pendidikan, rekreasi, serta peningkatan apresiasi masyarakat terhadap kebun raya, tumbuhan, dan lingkungan dalam upaya pemanfaatan yang berkelanjutanuntuk kesejahteraan masyarakat.
Kebun Raya Bogor merupakan institusi konservasi ex situ tertua di Indonesia, berdiri sejak 18 Mei 1817.
KRB memiliki nilai sejarah tinggi sebagai tonggak dalam perkembangan institusi dan penelitian pertanian di Indonesia, dan merupakan pilar utama bagi usahapenyelamatan jenis-jenis tumbuhan dari kepunahan. Selain memberikan kesejukan dengan lahannya seluas87 ha, KRB juga memiliki aset berharga, antara lain: (1) koleksi aneka tumbuhan yang mencapai 3.413 spesies,1.261 genera, dan 223 famili; (2) pangkalan data koleksi tumbuhan sebanyak 14.225 spesimen; (3) pangkalandata karya tulis peneliti kebun raya berikut abstraknya tahun 1973-2005 sebanyak 1.211 artikel, (4) pangkalan
data koleksi buku yang meliputi 1.159 judul; (5) pangkalan data koleksi artikel sebanyak 3.047 artikel; (6)koleksi buku tua (antikuariat) dalam bidang botani dan perkebunrayaan yang berumur lebih dari 100 tahun sebanyak 22 judul; (7) dokumentasi foto dan CD lebih dari 100 judul; (8) sumber daya manusia berjumlah 354 orang, meliputi 43 orang peneliti (staf ahli), 311 orang tenaga fungsional lainnya serta tenaga administrasi; dan (9) laboratorium kultur jaringan yang cukup representatif
dan gedung exhibition anggrek yang bertaraf internasional.Potensi besar yang dimiliki KRB belum tersebarsecara luas karena sarana TI yang dimiliki belum dimanfaatkan
secara optimal. Walaupun saat ini KRB telah
memiliki situs sendiri, kandungan informasi (content)
dan fitur yang ditampilkan dalam situs sangat terbatas,hanya informasi umum mengenai KRB, belum menampilkan kekayaan atau sumber daya yang dimiliki. Selain itu,
walaupun telah ada fasilitas “kontak” bagi pengguna
atau masyarakat yang ingin mengetahui sumber dayaKRB dengan bertanya langsung, pengelolaannya belum terkoordinasi dengan baik dan dilakukan secara khusus Perpustakaan KRB sebagai lembaga yang bertugasmenyimpan, mengolah, dan menyebarluaskan informasi,
serta sebagai mitra peneliti berkepentingan untuk dapat
memberdayakan sumber pengetahuan yang dimiliki (knowledge resources) dengan menggali potensi yang
dimiliki, baik berupa materi tertulis (pengetahuan eksplisit)
maupun keahlian dan pengalaman para ilmuan(pengetahuan implisit). Untuk mempercepat dan memperlancar kegiatan tersebut diperlukan suatu sistem
informasi berbasis TIK. Dalam hal ini, perpustakaan
perlu membangun suatu sistem jasa konsultasi dengan
memanfaatkan internet yang memungkinkan pengguna
memperoleh informasi secara cepat dan akurat, serta fasilitas web yang memungkinkan informasi yang
dimiliki dapat diakses banyak orang dan dalam cakupan
geografi yang luas. Dengan demikian, pertukaran
pengetahuan dapat berjalan dengan cepat dan kinerja
institusi pun akan meningkat.

0 komentar:

Posting Komentar

About